PENDIDIKAN INDONESIA, SEBUAH PERBANDINGAN YANG KONTRAS (Kolom 1)

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya Juli 2018, saya bersama Putri Indonesia Pariwisata 2017, Karina Nadila, dan juga aktris Yunita Siregar, berkesempatan untuk berkunjung ke salah satu sudut Timur Indonesia, yaitu Tanah Sumba untuk mengikuti program traveling and teaching yang diselenggarakan oleh komunitas 1000 Guru. Sumba merupakan salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur yang akhir-akhir ini menjadi salah satu pilihan destinasi wisata karena keindahan alamnya yang memang luar biasa walaupun pembangunan di Sumba bisa dikatakan belum maksimal hingga saat ini.

Sesuai dengan nama program tersebut, kami tidak hanya menikmati keindahan alam yang disuguhkan oleh Sumba, tetapi juga melakukan kegiatan volunteering untuk bertemu, mengajar, dan berbagi kebahagiaan serta motivasi bersama adik-adik di salah satu sekolah dasar yang ada di sana. “SD Paralel Manu Kuku, Sumba Barat”, begitulah tulisan yang terpampang di papan lusuh tempat kami mengajar. 

Dalam sambutannya, Kepala Pendidikan Wilayah Sumba Barat mengatakan “Kami sangat senang dan terharu, karena akhirnya ada yang melihat kami disini”. Lantas, timbul pertanyaan dalam benak saya, apa selama ini mereka benar-benar tidak diperhatikan dan terbaikan?

Begitu banyak perasaan, pertanyaan, dan argumen yang saya sembunyikan di balik senyuman hangat yang saya berikan untuk membalas keceriaan adik-adik, orang tua, dan bapak ibu guru yang sangat senang dan haru menyambut kedatangan kami. Hati saya bergejolak pada saat itu, melihat terlalu banyak perbedaan yang saya temukan di SD Manu Kuku jika saya bandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada di daerah perkotaan. Terlalu banyak kesenjangan serta ketimpangan yang terlihat jelas dalam dunia pendidikan di daerah terpencil dengan di perkotaan. 

Pertama, kondisi bangunan yang sangat memprihatinkan. SD Paralel Manu Kuku hanya memiliki tiga kelas permanen yang layak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, sedangkan tiga ruangan kelas yang lain persis seperti gubuk bambu dan air akan merembes ke dalamnya apabila hujan turun. “Kandang sapi bagi mereka, tempat belajar bagi kami”. Itulah pernyataan yang mereka gunakan untuk memberikan perbandingan antara kondisi sekolah mereka dengan sekolah yang ada di perkotaan. Bahkan, belum ada aliran listrik yang masuk di kawasan SD Manu Kuku. Kita tidak akan menemukan fasilitas tambahan yang lazim kita temui di sekolah-sekolah di daerah perkotaan, seperti proyektor, air conditioner atau kipas angin, ataupun alat peraga yang membantu proses pembelajaran. Ironisnya lagi, belum ada toilet khusus yang disediakan di sekolah, sehingga para siswa harus menumpang di rumah warga sekitar apabila ingin menggunakan toilet saat proses pembelajaran. 

Selain itu, perbandingan kualitas dan kuantitas antara tenaga pendidik di pun bisa dikatakan cukup jomplang. Ada lima orang guru yang mengajar di SD Manu Kuku, dan hanya dua diantaranya yang merupakan Pegawai Negeri Sipil. Dengan keadaan tersebut, tentunya sulit bagi para siswa untuk mendapatkan ilmu yang maksimal dan sama tingkatannya seperti apa yang di dapatkan di sekolah yang ada di perkotaan. Perbandingannya yaitu, siswa kelas enam di SD Manu Kuku setara dengan siswa kelas 4 di sekolah dasar perkotaan jika dilihat dari tingkat ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari. 

Berbeda dengan anak-anak seusia mereka yang ada di perkotaan, para siswa yang ada di SD Manu Kuku belum paham betul apa yang dimaksudkan dengan cita-cita. Saat ditanya tentang apa cita-cita mereka, sebagian besar dari mereka menjawab ingin menjadi ibu ataupun pendeta. Itulah arti cita-cita bagi mereka. Memang tidak ada yang salah dari cita-cita mulia mereka. Poin pentingnya adalah mereka tidak mengetahui bahwasanya masih ada banyak hal dan profesi yang bisa mereka cita-citakan. Ini merupakan dampak dari kurangnya akses pendidikan yang diperoleh mereka selama ini, sehingga mereka merasa tidak memiliki pilihan selain menjadi ibu ataupun pendeta. 

Kondisi pendidikan di SD Manu Kuku tersebut hanyalah satu gambaran dari sekian banyak sekolah yang keadaannya masih sangat perlu diperhatikan oleh berbagai macam pihak. Sebab, selama masa perjalanannya, usaha dalam membenahi sistem pendidikan menjadi tugas bersama masyarakat dan pemerintah. Meski jarang terdengar, tetapi beberapa wilayah terpencil di Indonesia masih memiliki angka pendidikan yang rendah. Tidak hanya itu, minimnya dukungan tenaga pengajar membuat beberapa daerah memiliki kualitas pendidikan yang masih jauh dari harapan.

Data di tahun 2016 menunjukkan bahwa dari 1.833.000 ruang kelas di seluruh Indonesia, hanya 470.000 ribu ruang kelas dalam kondisi baik (26 persen), dan hanya 50 persen sekolah yang memiliki alat peraga pendidikan. Masih banyak sekolah ataupun sistem pendidikan di daerah-daerah pedalaman Indonesia yang belum dilhat oleh pemerintah. Seakan-akan pemerintah hanya memfokuskan pendidikan di kota-kota besar di Indonesia. Sungguh miris jika kita semua mengetahui bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia ini khusunya di daerah pedalaman yang jauh dari ibu kota. Padahal, ada banyak anak-anak Indonesia di pedalaman sana yang sangat ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka rela harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk bisa belajar.

Banyak diluar sana yang menginginkan pemerataan pembangunan dalam hal pendidikan, agar semua anak-anak di Indonesia baik yang di daerah pedalaman maupun di daerah kota-kota besar mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana yang terdapat dalam pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. 

Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus agar pendidikan di pedalaman Indonesia mendaptkan apa yang memang seharusnya didapatkan sebagai pelajar, misalnya dengan menambah dan memaksimalkan anggaran dana yang dialokasikan untuk pendidikan, meningkatkan jumlah tenaga pengajar yang ditugaskan di daerah terpencil, dan juga membuat kebijakan-kebijakan khusus terkait masalah pendidikan di daerah-daerah yang membutuhkan. 

Tidak hanya pemerintah, masyarakat pun bisa memberikan kontribusinya untuk membantu pendidikan di daerah terpencil, salah satu contohnya yaitu dengan mengikuti kegiatan volunteering untuk mengajar selama beberapa hari di sekolah-sekolah yang siswanya perlu mendapatkan motivasi serta dukungan dari orang lain, sehingga mereka merasa bahwa mereka memang didukung dan diperhatikan. Oleh sebab itu, kesadaran semua pihak dalam membenahi dan memajukan pendidikan amat sangat diperlukan. Sebab terkait memajukan pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak.

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH BERITA RADIO

PEDULI DEMOKRATISASI, UNDIP BUKA PROGRAM S2 TATA KELOLA PEMILU (Berita Online)